1. Aral pola pikir
Dalam konteks kreatifitas, dikenal dua pola berpikir. Pertama adalah pola pikir produktif yang artinya jika dihadapkan pada suatu masalah, seseorang akan berusaha menemukan cara berpikir berbeda, cara pandang baru (sekalipun tidak selalu orisinil), sikap dan perilaku berbeda, merespon dengan cara-cara non konvensional, bahkan unik. Pola semacam inilah yang membuka jalan dan selalu merangsang kreatifitas seseorang.
Kedua, adalah pola pikir reproduktif yang artinya jika dihadapkan pada masalah, seseorang akan cenderung merespon dengan cara yang sama, mengulang pola pikir atau cara pemecahan lama yang sudah terbukti berhasil. Itu sebabnya pola pikir reproduktif menjadi salah satu penyebab utama kekakuan berpikir, dan dengan demikian menjadi aral kreatifitas.
Seringkali, pola pikir reproduktif berlangsung secara mekanikal atau nyaris otomatis. Dan ini terkondisikan oleh hasil pendidikan model skolastik atau lingkungan yang menuntut cara-cara berpikir praktis dan sangat terstruktur. Sampai pada saat kita mentok dalam upaya pencarian variasi solusi, di titik itulah baru kita sadari keterbatasan pola pikir reproduktif.
2. Aral paradigma
Tak beda jauh dengan aral pola pikir adalah aral paradigma. Sebagai cara mempersepsi, memahami, dan menafsirkan dunia sekelilingnya, atau alat untuk melahirkan gambaran batin, paradigma seseorang sangat mempengaruhi kreatifitas. Seorang dengan paradigma anti konflik umumnya kurang menyukai perubahan, atau bahkan membenci perubahan yang lebih dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan daripada dipersepsi sebagai peluang perbaikan. Padahal, kreatifitas seringkali merupakan aktivitas yang melampaui kemapanan. Kreatifitas dapat terlahir atau terstimulasi melalui benturan, persinggungan, percampuran, dan penyatuan berbagai unsur yang berbeda atau bahkan saling bertentangan.
3. Aral keyakinan
Turunan dari paradigmaadalah keyakinan yang bisa menjadi pendorong atau justru menjadi faktor penghambat kreatifitas. Kreatifitas sering memunculkan output baru yang berlawanan atau bahkan mengalahkan hal lampau, mengalahkan senioritas, mengalahkan pengalaman, atau mengalahkan hirarki. Dalam hal keyakinan yang dianut menabukan inisiatif, mengharuskan penghormatan pada senioritas, hirarki, atau pengalaman misalnya, maka manifestasi kreatifitas umumnya relatif terhambat. Nah, sampai batas mana individu bisa mengelola aral ini, sampai pada batas itulah ia bisa menyediakan ruang kreatifitas bagi dirinya sendiri.
4. Aral ketakutan
Barangkali aral kreatifitas yang paling mudah dikenali adalah rasa takut. Aral ini bisa berupa takut diabaikan, takut dicemooh, takut dievaluasi, takut dihakimi, takut dianggap bodoh, takut pada ketidaksempurnaan, takut mencoba, takut ambil risiko, takut ide tidak berjalan seperti yang diharapkan, takut gagal, dll. Salah satu sebab mengapa banyak rapat-rapat kurang maksimal atau kurang kreatif adalah karena masih kuatnya aral ketakutan yang membelenggu para pesertanya. Pendek kata, kebanyakan rasa takut membuat seseorang cenderung enggan mewujudkan potensi dan mengembangkan kreatifitasnya.
5. Aral motivasional
Motif sangat mempengaruhi sikap, perilaku, keinginan, atau tindakan-tindakan sengaja lainnya. Tanpa motivasi orang cenderung tidak terdorong dan tidak tergerak untuk meraih sesuatu yang diinginkannya. Padahal kreatifitas sering menuntut satu rangkaian persiapan, pemikiran, pendefinisian persoalan, dan pemecahannya. Semuanya membutuhkan --dalam derajat tertentu-- usaha dan kerja keras. Bila motivasi rendah, orang cenderung kurang menyukai kerja keras, kurang tekun, dan enggan memanfaatkan kemampuan kreatifnya untuk memecahkan tantangan.
6. Aral kebiasaan
Sebagai perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan, maka kebiasaan pun jelas berpengaruh pada kreatifitas. Orang-orang kreatif umumnya memiliki kebiasaan- kebiasaan yang menstimulasi kreatifitas. Sementara orang- orang yang kurang kreatif juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang sayangnya bisa meredam kreatifitas. Misalnya; suka menghindari masalah (bukannya mencari solusi), malas berpikir, menghindari tantangan, menghindari tanggung jawab, menghakimi ide-ide baru, berpuas diri, menghindari hal-hal imajinatif, dll. Dihadapkan pada kebiasaan-kebiasaan maka tantangan kreatifitas tidak ada artinya.
7. Aral sosial
Kreatifitas kadang bukan semata aktivitas individual sehingga langsung atau tidak juga dipengaruhi aspek sosial. Situasi sosial tertentu cukup apresiasif dan menghargai kreatifitas dengan layak sehingga bisa lebih memotivasi indvidu-individu untuk produktif dan kreatif. Sementara situasi sosial lainnya relatif kurang apresiasif atau bahkan mengekang. Pendidikan tradisional misalnya, sering dianggap sebagai salah satu produk sosial yang kurang memberi tempat bagi kreatifitas.
8. Aral organisasi
Kini organisasi bisnis menempatkan kreatifitas sebagai motor sekaligus bahan bakar inovasi. Sekalipun peran kreatifitas diakui besar, namun banyak organisasi gagal menyediakan lingkungan atau iklim yang kondusif bagi kreatifitas. Organisasi yang konservatif biasanya kurang merangsang kreatifitas. Sebut pula batasan-batasan seperti hirarki, aturan yang tidak fleksibel, ketiadaan wadah bagi ekspresi kreatif, egoisme antar departemen, buruknya komunikasi, atau situasi organisasi yang sangat terpolitisasi. Potensi kreatif individu sering tidak maksimal dalam iklim seperti ini.
9. Aral kepemimpinan
Dalam kehidupan sosial dan organisasional, faktor gaya kepemimpinan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses kreatifitas. Jika pemimpin organisasi kurang memberi ruang kebebasan, kurang bisa momotivasi, tidak mampu memberi tantangan, tidak mampu mengelola hasrat kreatif, kurang memberi penghargaan, tidak memberi kepercayaan, tidak mendukung, dan tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif, maka kreatifitas individu-individu dalam organisasi jelas akan terhambat. Seberapa kreatif individu- individu dalam tim, namun jika tidak didukung oleh kemampuan manajemen kreatif pemimpinnya, hasilnya juga kurang menggembirakan.
Dalam konteks kreatifitas, dikenal dua pola berpikir. Pertama adalah pola pikir produktif yang artinya jika dihadapkan pada suatu masalah, seseorang akan berusaha menemukan cara berpikir berbeda, cara pandang baru (sekalipun tidak selalu orisinil), sikap dan perilaku berbeda, merespon dengan cara-cara non konvensional, bahkan unik. Pola semacam inilah yang membuka jalan dan selalu merangsang kreatifitas seseorang.
Kedua, adalah pola pikir reproduktif yang artinya jika dihadapkan pada masalah, seseorang akan cenderung merespon dengan cara yang sama, mengulang pola pikir atau cara pemecahan lama yang sudah terbukti berhasil. Itu sebabnya pola pikir reproduktif menjadi salah satu penyebab utama kekakuan berpikir, dan dengan demikian menjadi aral kreatifitas.
Seringkali, pola pikir reproduktif berlangsung secara mekanikal atau nyaris otomatis. Dan ini terkondisikan oleh hasil pendidikan model skolastik atau lingkungan yang menuntut cara-cara berpikir praktis dan sangat terstruktur. Sampai pada saat kita mentok dalam upaya pencarian variasi solusi, di titik itulah baru kita sadari keterbatasan pola pikir reproduktif.
2. Aral paradigma
Tak beda jauh dengan aral pola pikir adalah aral paradigma. Sebagai cara mempersepsi, memahami, dan menafsirkan dunia sekelilingnya, atau alat untuk melahirkan gambaran batin, paradigma seseorang sangat mempengaruhi kreatifitas. Seorang dengan paradigma anti konflik umumnya kurang menyukai perubahan, atau bahkan membenci perubahan yang lebih dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan daripada dipersepsi sebagai peluang perbaikan. Padahal, kreatifitas seringkali merupakan aktivitas yang melampaui kemapanan. Kreatifitas dapat terlahir atau terstimulasi melalui benturan, persinggungan, percampuran, dan penyatuan berbagai unsur yang berbeda atau bahkan saling bertentangan.
3. Aral keyakinan
Turunan dari paradigmaadalah keyakinan yang bisa menjadi pendorong atau justru menjadi faktor penghambat kreatifitas. Kreatifitas sering memunculkan output baru yang berlawanan atau bahkan mengalahkan hal lampau, mengalahkan senioritas, mengalahkan pengalaman, atau mengalahkan hirarki. Dalam hal keyakinan yang dianut menabukan inisiatif, mengharuskan penghormatan pada senioritas, hirarki, atau pengalaman misalnya, maka manifestasi kreatifitas umumnya relatif terhambat. Nah, sampai batas mana individu bisa mengelola aral ini, sampai pada batas itulah ia bisa menyediakan ruang kreatifitas bagi dirinya sendiri.
4. Aral ketakutan
Barangkali aral kreatifitas yang paling mudah dikenali adalah rasa takut. Aral ini bisa berupa takut diabaikan, takut dicemooh, takut dievaluasi, takut dihakimi, takut dianggap bodoh, takut pada ketidaksempurnaan, takut mencoba, takut ambil risiko, takut ide tidak berjalan seperti yang diharapkan, takut gagal, dll. Salah satu sebab mengapa banyak rapat-rapat kurang maksimal atau kurang kreatif adalah karena masih kuatnya aral ketakutan yang membelenggu para pesertanya. Pendek kata, kebanyakan rasa takut membuat seseorang cenderung enggan mewujudkan potensi dan mengembangkan kreatifitasnya.
5. Aral motivasional
Motif sangat mempengaruhi sikap, perilaku, keinginan, atau tindakan-tindakan sengaja lainnya. Tanpa motivasi orang cenderung tidak terdorong dan tidak tergerak untuk meraih sesuatu yang diinginkannya. Padahal kreatifitas sering menuntut satu rangkaian persiapan, pemikiran, pendefinisian persoalan, dan pemecahannya. Semuanya membutuhkan --dalam derajat tertentu-- usaha dan kerja keras. Bila motivasi rendah, orang cenderung kurang menyukai kerja keras, kurang tekun, dan enggan memanfaatkan kemampuan kreatifnya untuk memecahkan tantangan.
6. Aral kebiasaan
Sebagai perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan, maka kebiasaan pun jelas berpengaruh pada kreatifitas. Orang-orang kreatif umumnya memiliki kebiasaan- kebiasaan yang menstimulasi kreatifitas. Sementara orang- orang yang kurang kreatif juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang sayangnya bisa meredam kreatifitas. Misalnya; suka menghindari masalah (bukannya mencari solusi), malas berpikir, menghindari tantangan, menghindari tanggung jawab, menghakimi ide-ide baru, berpuas diri, menghindari hal-hal imajinatif, dll. Dihadapkan pada kebiasaan-kebiasaan maka tantangan kreatifitas tidak ada artinya.
7. Aral sosial
Kreatifitas kadang bukan semata aktivitas individual sehingga langsung atau tidak juga dipengaruhi aspek sosial. Situasi sosial tertentu cukup apresiasif dan menghargai kreatifitas dengan layak sehingga bisa lebih memotivasi indvidu-individu untuk produktif dan kreatif. Sementara situasi sosial lainnya relatif kurang apresiasif atau bahkan mengekang. Pendidikan tradisional misalnya, sering dianggap sebagai salah satu produk sosial yang kurang memberi tempat bagi kreatifitas.
8. Aral organisasi
Kini organisasi bisnis menempatkan kreatifitas sebagai motor sekaligus bahan bakar inovasi. Sekalipun peran kreatifitas diakui besar, namun banyak organisasi gagal menyediakan lingkungan atau iklim yang kondusif bagi kreatifitas. Organisasi yang konservatif biasanya kurang merangsang kreatifitas. Sebut pula batasan-batasan seperti hirarki, aturan yang tidak fleksibel, ketiadaan wadah bagi ekspresi kreatif, egoisme antar departemen, buruknya komunikasi, atau situasi organisasi yang sangat terpolitisasi. Potensi kreatif individu sering tidak maksimal dalam iklim seperti ini.
9. Aral kepemimpinan
Dalam kehidupan sosial dan organisasional, faktor gaya kepemimpinan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses kreatifitas. Jika pemimpin organisasi kurang memberi ruang kebebasan, kurang bisa momotivasi, tidak mampu memberi tantangan, tidak mampu mengelola hasrat kreatif, kurang memberi penghargaan, tidak memberi kepercayaan, tidak mendukung, dan tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif, maka kreatifitas individu-individu dalam organisasi jelas akan terhambat. Seberapa kreatif individu- individu dalam tim, namun jika tidak didukung oleh kemampuan manajemen kreatif pemimpinnya, hasilnya juga kurang menggembirakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar